Pada Bunda
Duh, begitu lama ku abaikan rasa ini. Seperti anak durhaka rasanya. Pada dia yang menjadikanku ada. Pada lembut yang menghidupiku dari tiada menjadi ada sekarang ini. Penuh cinta, kasih, sayang dan kesabaran. Perempuan tanpa keluh. Dalam segala keterbatasanmu, telah taklukkan hari-hari kerasmu untuk menjaga, dan membimbingku sampai sejauh ini. Tak nyata memang. Tak banyak petuahmu tersampaikan. Engkau memang perempuan tanpa keluh. Bekerja bukan dengan kata, namun laksana. Dalam diam mu, kau lakukan satu-satu kewajibanmu. Tuntaskan dharmamu sebagai seorang ibu. Sampai tuntas tanggung jawabmu. Tak ada yang tertinggal satupun, kau telah lunaskan semua. Sekarang, waktumu menikmati masa lelahmu. Nikmatilah hidup ini. Selebihnya, biar jadi tanggung jawab ku sekarang ini, sampai nanti. kini adalah giliran dharmaku sebagai anak.
Buat ayah
Pun demikian buatmu, ayah. Tak pelak lagi, bergudang kesalahan masih tersimpan dan tak pernah ku sadarai sebelumnya. Pada engkau sang pengayun cangkul. Pada engkau sang pendiam. Pada engkau sang dharma sejati. Diammu selama ini, masih ku sadari ada ruh cinta di dalamnya. Kau lebih banyak kucurkan keringat dari pada umbar kata. Bahkan sangat irit pada kata. Sang pendiam seribu bahasa. Aku takluk pada diammu. Kaupun telah tuntaskan dharmamu sebagai seorang ayah, bahkan mungkin lebih. Namun tak jarang dulu aku mengingkarinya. Yah, maklumlah, usia dan kesadaran yang masih sangat rendah sebagai penyebabnya. Dan nikmatilah juga ketenangan masa tuamu, ini giliran aku, anakmu. Mengabdi dan mencurahkan waktu buatmu. Sebagai penebus sekian banyak waktu yang hilang dan terabaikan selama ini. Caramu menanamkan disiplin pada kami sangat luar bisa. Caramu memberi contoh tentang rasa kasih dan cinta pada sesama mahluk tak dapat ku tiru mutlak. Kau memang luar biasa dalam hal ini. Tutur katamu halus, lembut, dan santun. Tak perduli sedang berbicara dengan manusia usia kecil, muda maupun dewasa. Aku tunduk pada keteguhan sikapmu. ***
Ibu, ayah;
hari ini, aku seperti dihempas ke cermin besar, begitu besar membentang di depan mata, hingga tak terlewat satupun segala kesalahan ku dari kecil dulu, sampai sekarang ini. Dan hari ini, siang tadi, telah ku tumpahkan segala rasa carut marut ini, yang selama ini terbenam di dalam jiwa yang paling dalam. Terlipat begitu rapih sampai tak ku sadarai kalau masih banyak sampah yang mesti dibersihkan. Hari ini, perlahan aku membersihkannya. Hari ini, semuanya telah mengalir mengikuti derasnya aliran air mata yang tak bisa ku bendung. Bahkan cukup lama. Tangisan seorang lelaki rapuh.
Duh, begitu lama ku abaikan rasa ini. Seperti anak durhaka rasanya. Pada dia yang menjadikanku ada. Pada lembut yang menghidupiku dari tiada menjadi ada sekarang ini. Penuh cinta, kasih, sayang dan kesabaran. Perempuan tanpa keluh. Dalam segala keterbatasanmu, telah taklukkan hari-hari kerasmu untuk menjaga, dan membimbingku sampai sejauh ini. Tak nyata memang. Tak banyak petuahmu tersampaikan. Engkau memang perempuan tanpa keluh. Bekerja bukan dengan kata, namun laksana. Dalam diam mu, kau lakukan satu-satu kewajibanmu. Tuntaskan dharmamu sebagai seorang ibu. Sampai tuntas tanggung jawabmu. Tak ada yang tertinggal satupun, kau telah lunaskan semua. Sekarang, waktumu menikmati masa lelahmu. Nikmatilah hidup ini. Selebihnya, biar jadi tanggung jawab ku sekarang ini, sampai nanti. kini adalah giliran dharmaku sebagai anak.
Buat ayah
Pun demikian buatmu, ayah. Tak pelak lagi, bergudang kesalahan masih tersimpan dan tak pernah ku sadarai sebelumnya. Pada engkau sang pengayun cangkul. Pada engkau sang pendiam. Pada engkau sang dharma sejati. Diammu selama ini, masih ku sadari ada ruh cinta di dalamnya. Kau lebih banyak kucurkan keringat dari pada umbar kata. Bahkan sangat irit pada kata. Sang pendiam seribu bahasa. Aku takluk pada diammu. Kaupun telah tuntaskan dharmamu sebagai seorang ayah, bahkan mungkin lebih. Namun tak jarang dulu aku mengingkarinya. Yah, maklumlah, usia dan kesadaran yang masih sangat rendah sebagai penyebabnya. Dan nikmatilah juga ketenangan masa tuamu, ini giliran aku, anakmu. Mengabdi dan mencurahkan waktu buatmu. Sebagai penebus sekian banyak waktu yang hilang dan terabaikan selama ini. Caramu menanamkan disiplin pada kami sangat luar bisa. Caramu memberi contoh tentang rasa kasih dan cinta pada sesama mahluk tak dapat ku tiru mutlak. Kau memang luar biasa dalam hal ini. Tutur katamu halus, lembut, dan santun. Tak perduli sedang berbicara dengan manusia usia kecil, muda maupun dewasa. Aku tunduk pada keteguhan sikapmu. ***
Ibu, ayah;
hari ini, aku seperti dihempas ke cermin besar, begitu besar membentang di depan mata, hingga tak terlewat satupun segala kesalahan ku dari kecil dulu, sampai sekarang ini. Dan hari ini, siang tadi, telah ku tumpahkan segala rasa carut marut ini, yang selama ini terbenam di dalam jiwa yang paling dalam. Terlipat begitu rapih sampai tak ku sadarai kalau masih banyak sampah yang mesti dibersihkan. Hari ini, perlahan aku membersihkannya. Hari ini, semuanya telah mengalir mengikuti derasnya aliran air mata yang tak bisa ku bendung. Bahkan cukup lama. Tangisan seorang lelaki rapuh.
Hari ini ruah menghanyutkan segala sampah yang tertimbun secara tidak sengaja di dasar jiwa. Alunan lagu Melly Guslow: Bunda dan Ebiet G Ade ; Titip Rindu Buat Ayah, menghantarkan tiap getar rasa yang teralirkan bersama bening air mata. Menguap bersama udara disekitar. Dan semua itu yang membimbingku pada tolehan jauh ke belakang, ketika tak pernah punya waktu bagiku untuk sekadar mengucapkan kata “maaf”, jika sedang melakukan kesalahan. Dan ini yang bernama lalai tanpa perbaikan. Namun kali ini, siang tadi, segalanya ruah, mengalir deras. Bibirku tak henti-hentinya melantuntkan kata maaf atas segala lalaiku selama ini. Sampai dada ini benar-benar terasa lega, sangat lega. Yang jauh lebih membahagiakan lagi adalah; baru kali ini aku benar-benar bisa bersimpuh di kaki-kaki kalian yang mulai rapuh. Aku mencium kaki kalian dengan cinta dan kesungguhan akan kesadaran ada begitu banyaknya kesalah yang terabaikan selama ini. Dan, mendengar doa kalian aku lumpuh kata, dada tercekat, bibir bungkam tak bisa bicara. Betapa mulianya kalian ini. Dalam detik itu, dalam keterkejutan pada kelakuanku yang begitu datang langsung menghampirimu lantas menyentuh tangan-tangan kalian, meciumnya dan lantas mencium kakai-kaki kalian. Ayah, aku benar-benar kagum padamu, dalam keterkejutanmu masih terlontar doa bagiku. Doa yang indah. Terimakasih. Pada ibu, meskipun engkau diam seribu basa, tapi sorot matamu mengungkap rasa haru dan keterkejutanmu. Betapa tidak, baru malam ini anakmu yang congkak ini tiba-tiba jatuh di kakimu. Engkau tergugu. Namun aku percaya, sorot matamu menyiratkan cinta tanpa akir. Untuk semua yang kalian telah lakukan dan korbankan untukku dan saudaraku. Ku ucapkan terimakasih tak terhingga, tanpa batas, cara yang tak cukup untuk menebus segala kesalahan diri pada mereka berdua. Ayah-Ibu. Inilah malam yang sangat berarti bagiku, malam yang luluh di bawah dua pasang kaki rapuh, ayah dan ibu. Terimakasih pada kalian, ayah dan ibu, atas cinta tak bertepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar