Minggu, 09 Mei 2010

Ibuuu...Aku (anak perantauan) Rindu


Kesunyian menenggelamkan ku pada mimpi hampa.
Ketika kucoba memahami makna hidup yang sudah sering kulupakan hingga satu petuah bijak pun kuabaikan bahkan sempat kutanggalkan cintamu di ujung persimpangan gang kedewasaanku.
Aku terkapar dihamparan luas kebohongan diri. Aku melupa. Aku memanja pada dunia yang tak kekal cintanya. Dan kini aku sendirian bak cacing kepanasan, menggeliat-liat di tanah merah ujung kematian. Terjeratku pada janji kepalsuan lantaran salah dalam sebuah pilihan. Apakah hidup sebuah pilihan? Aku tergagu menatap jalanan yang kian menyempitkan harapan.
Memang pilihan itu ada di garis tanganku sendiri tapi entah mengapa aku tak mencoba untuk mencari tahu akan makna tentang garis-garis kehidupan yang tergurat jelas dalam genggaman tanganku ini. Hingga aku terpojok pada persimpangan gang kehidupan. Sungguh bukan gang kebahagiaan yang kupilih untuk masa depan melainkan gang kegelapan yang kuagungkan diantara kaki-kaki kecil berlari menata mimpi. Setidaknya mimpi kelam yang kuukir dari hidupku belasan tahun ini. Sungguh sekali pun jika kutanyakan pada diri ini tentang hal apa yang telah kuberikan padamu, jawaban yang tersirat adalah kosong lantaran sama sekali belum ada satupun yang mampu kuberikan padamu sebagai ganti darah dan keringat yang kau teteskan saat kau melahirkanku ke dunia. Aku tahu engkau memang tak mengharapkan apa-apa dariku sebagai belas kasihmu.
Dan memang bukan harapanku untuk melupakannmu.
Dosakah aku ibu, jika pernah sekali waktu kulupakanmu dari benak mimpiku meskipun kau tak pernah terhempas dari relung-relung jiwaku. Namamu memang terukir indah dalam hati setelah nama Sang Illahi menguasai jiwa. Tapi entah mengapa wajahmu menghilang dari angan seakan ikut tenggelam dalam kehampaan malam-malam ku menanti sang lelaki datang mengagahi bayangan.
Sekian tahun engkau pergi meninggalkanku. Sekian tahun pula aku melupakanmu dan sekian tahun pula kucoba menutup rapat-rapat pintu hatiku untuk merindukanmu. Apalagi untuk meneteskan airmataku ini sekedar tuk kujadikan pelipur laraku, aku enggan ibu. Aku memilih mengasingkan diri dari kerinduan menggebu ini dan bergelut diantara rindu-rindu palsu menari-nari indah dalam setiap kelopak mata bergenangkan airmata kerinduanku untukmu. Dan kini aku merindukanmu ibu.

Peluklan diriku agar tak jauh denganmu Lebih baik kau tidur diatas pangkuanku Sebelum terlena senandungkanlah doa Ukirlah namaku direlung hatimu Lihatlah mentari perlahan akan tenggelam Biasanya kan datang rembulan di waktu malam Angin bertiup menyentuh dedaunnan Nampaknya menari riang ditemani rembulan Tuhan lihatlah kami yang tiada lelah berdoa Dibalik tirai yang sepi menanti hangatnya diri Dibawah sinar rembulan nampak terang menipis Tatapanmu teru indah disinari rembulan.

Ingatkah kau dengan senandung lagu ini ibu?
Lagu yang pernah kau nyanyikan ketika sedang dalam kegalauan. Aku melupakan lagu ini karena memang aku sudah ingin melupakanmu. Dan aku memang telah melupakanmu. Tapi aku keliru ibu, justru melupakanmu adalah awal kelabuku menghadapi masa depan. Aku gagal meraih harapan dan selalu gagal dalam sepanjang perjalanan. Hingga ketika kumenemukan satu persimpangan jalan, kutemukan satu bayangan dimana dia membawakanku setangkai lagu cinta. Lagu yang memaksakanku untuk kembali mengingatmu. Lagu senandung doa.
Bukan kesengajaan memang dan kuyakin memang bukan, karena dia tak pernah tahu tentang makna senandung doa itu tapi ini adalah petunjuk Tuhan dimana aku harus kembali mengingat pada satu wajah yang pernah melahirkanku dan pada satu wajah yang pernah membagikan kasih dan senyumnya untukku menatap dunia dan pada satu wajah yang pernah membagikan cinta atas pengorbanannya membuatku hidup dengan penyambung nyawa lewat desahan nafasnya.
Setidaknya kembali mengingatkanku bahwa surga ada dibawah telapak kakimu ibu. Dan aku harus mencari surga itu meskipun kehangatanmu kini jauh dari dekapanku tapi kuyakin kasih dan sayangmu tetap hangat diantara kesunyian-kesunyian senja menjemput malam hingga bersandar menanti cahaya sang fajar. Betapa kehangatan mentari itulah kehangatanmu yang terkirim dari surga. Sebagai kekuatan dalam hatiku bahwa hidup ini sebenarnya indah dan berkah diantara sejuta anugerah-anugerah Tuhan yang sempat kuhempas dari kenyataan.
Anakmu kan senantiasa mendoakan mu,Bu...
Alloh bersamamu, dan yakinkan diriku bahwa Kau selalu menghadapi semua gejolak hidup ini dengan tersenyum dan dengan segala kesabaranmu..
Kebanggaanku hanya padamu Bu...
Rindu mendalam ini juga untuk mu Bu....

I miss U Mom....



Kota Perantauan Diantara Senandung Kesunyian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar